Purwakarta

Ketahanan Keluarga Menju Keluarga Sejahtera

Bagikan ke:

PURWAKARTA -Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Lingkungan pertama & utama dalam pembinaan tumbuh kembang, menanamkan nilai-nilai moral dan pembentukan kepribadian.

Peran serta masyarakat dalam usaha pembelaan negara bukan hanya dengan fisik, dapat melalui berbagai bentuk disesuaikan dengan profesi dan kedudukan masing-masing. Upaya bela negara dapat pula dilakukan lewat institusi keluarga sebagai bagian masyarakat terkecil melalui Ketahanan Keluarga.

Maka dari itu Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) melalui Bidang Ketahanan Keluarga berikan Pemahaman Tentang Ketahanan Keluarga di Pondok Pesantren Nurulfata, Desa Warung Jeruk, Kecamatan Tegalwaru, Purwakarta.

Maka dari itu Kepala Bidang (Kabid) Ketahanan Keluarga, Fata Faridulhisan memberikan pengetahuan tentang Peningkatan Wawasan generasi muda dalam pembangunan Kependudukan.

“Dalam era Globalisasi Teknologi, Informasi dan Komunikasi maka lembaga perkawinanpun tidak luput merasakan dampak positif maupun negatif. Banyak persoalan keluarga muncul diakibatkan dampak globalisasi yang mengancam keutuhan keluarga yang pada skala besar juga akan merobek ketahanan negara karena ketahanan keluarga merupakan unsur penting dalam ketahanan negara” Ungkap Fata

Kata Fata, Hanya Keluarga yang ber-Ketahanan yang akan mampu mampu menepis pengaruh negatif yang datang dari luar, Keluarga yang berketahanan dan mampu melaksanakan fungsi-fungsi keluarga dapat menjadi landasan dalam mewujudkan keluarga bahagia sejahtera.

Persoalannya pertama pada kesejahteraan dimana peran negara atasi ini masih minim. Ekonomi jadi faktor terbesar rapuhnya keluarga karena wanita dipaksa bekerja. Ini turut berkontribusi dalam buruknya pola asuh dan kenakalan remaja.

Pada kesempatan tersebut Fata juga menjelaskan pernikahan usia dini berdampak terhadap banyak hal negatif.

“Dampak negatif, di antaranya rentan terhadap perceraian, karena tanggung jawab yang kurang, dan bagi perempuan berisiko tinggi terhadap kematian saat melahirkan,” katanya.

Ia mengatakan, perempuan usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar meninggal saat melahirkan ketimbang yang berusia 20-25 tahun, sedangkan usia di bawah 15 tahun kemungkinan meninggal bisa lima kali.

Selain itu, katanya, dampak psikologis mereka yang menikah pada usia muda atau di bawah 20 tahun, secara mental belum siap menghadapi perubahan pada saat kehamilan.

Persoalan lainnya adanya perubahan peran, yakni belum siap menjalankan peran sebagai ibu dan menghadapi masalah rumah tangga yang seringkali melanda kalangan keluarga yang baru menikah.

Pernikahan dini, kata dia, juga berdampak buruk ditinjau dari sisi sosial, yaitu mengurangi harmonisasi keluarga serta meningkatnya kasus perceraian.

“hal tersebut tidaklah mudah. Harus ada kerjasama para orang tua untuk menciptakan generasi yang berkualitas, bukan generasi yang hidup dengan bebas. “pungkasnya (Gigin/01)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.