Pujangga Cinta si Jago Kandang
Oleh. : Agus M Yasin
Pengamat Kebijakan Publik dan Mantan anggota DPRD Purwakarta
PURWAKARTA, jabarexposeraya.com – Perasaan cinta manusia memiliki fase yang begitu unik. Dimana cinta bisa menjadi sumber kekuatan dan sekaligus kelemahan bagi mereka.
Ketika jatuh cinta, hidup seolah berwarna dan serasa menjadi orang paling beruntung di dunia. Sayangnya, cinta juga bisa membuat luka.
Di saat hal itu terjadi mungkin seseorang akan merasa menjadi orang yang paling tersakiti di dunia. Hidup bahkan terasa tak ada artinya lagi. Itulah mengapa manusia diminta untuk mencintai sesuatu sewajarnya. Karena pada dasarnya semua hanyalah titipan Yang Maha Kuasa.
Sesungguhnya bagi seseorang yang tulus, cinta tidak akan menuntut kesempurnaan tetapi akan memahami dan menerima sertavrela untuk berkorban. Karena cinta seharusnya membuat seseorang bahagia bukan menjadi terluka.
Kata-kata cinta yang paling jujur ialah kata-kata tak bersuara, kata-kata tanpa kata-kata. Jangan pernah berkata ‘aku sangat mencintaimu,’ kalau sebenarnya hanya di mulut saja, dan belum siap menderita dan menelan segala derita karena ulahnya.
Cinta itu tidak bisa dijelaskan seberapa besarnya, orang mungkin menilai cinta itu sebesar dunia, samudra, bahkan langit. Namun tidak ada seseorang pun yang bisa menakar seberapa besar cintanya dengan logika.
Oleh sebab itu wajar, jika seorang perempuan atas dasar logika mengakiri “Ikatan Cinta” bukan karena sekedar diingkari kewajiban semata. Tetapi lebih pada persoalan menyangkut ahlaq yang mengacu pada suyariat Islam, yang senantiasa membuatnya menjadi tidak nyaman dan membebani pikiran dan hati termasuk kehidupanya.
Sebaliknya, akan mejadi kerdil manakala seorang lelaki atas dasar distorsi dan penderitaan semu. Berusaha mengeksploitasi kebohongannya untuk memancing empati dan membangkitkan emosi para pengagumnya.
Itu tidak ubahnya sebagai wujud ketakutan yang dimanipulatif dengan berbagai alasan, termasuk alasan masa depan keluarganya.
Lantas tentang kepiawaiannya sebagai salah seorang yang terhormat, kalau diamati tidak ubahnya hanya “jago kandang”. Memainkan issue penderitaan orang untuk mengambil hasil balik materi, bukan ketulusan yang sebenarnya. Tetapi sebuah kebaikan yang dimanipulatif, atas nama kepekaan dan kasih sayang untuk sekedar dimodufikasi sebagai produk tobtonan.
Benarkah ? Ya, bagi seorang narsisme dalam situasi apapun berusaha untuk dikagumi, adalah jurus maut yang kerap diperdagangkan. Itulah gaya sang metaforis dalam mengemis cinta, ketika kegalauannya berada di titik nadir.