Kolom

Duh, Wartawan!

Bagikan ke:

foto nu ganteng teaTatang Budimansyah

Pimpinan Umum Jabar Expose Raya

KABAR terbaru pekan ini di Purwakarta: Empat wartawan ditangkap polisi karena memeras! Akibatnya, wajar jika para wartawan yang bertugas dan berdomisili di Purwakarta marah. Marah bukan kepada polisi yang menangkap, tapi marah dan geram kepada sang wartawan.

Sebagian ada yang bilang, mereka yang tertangkap adalah oknum wartawan. Sebagian lainnya menyebut sebagai wartawan gadungan. Masuk kategori manapun, yang jelas sepak terjang mereka harus disudahi. Kalau tidak, maka rusaklah citra wartawan, khususnya wartawan yang biasa melakukan kegiatan jurnalistik di Purwakarta.

Dulu sebelum era reformasi, sebelum penerbitan pers booming seperti sekarang ini, wartawan bodreks itu identik dengan wartawan gadungan. Sekarang, sejak akhir 1990-an, ada fenomena baru, di mana banyak orang begitu gampang melamar menjadi wartawan. Mereka melamar pada sebuah penerbitan pers yang juga boleh dibilang penerbitan bodreks. Jadi, yang membedakan, hanyalah dalam soal identitas.

Gadungan, menurut Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) berarti 1. bukan yang sebenarnya (tentang orang yang menyamar sebagai polisi, pemimpin, dan sebagainya); 2. jadi-jadian (tentang manusia yang menjadi harimau dan sebagainya). Jadi wartawan gadungan berarti individu yang mengaku sebagai seorang wartawan, untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Kalau pun mempunyai ID card atau sejenisnya, itu hasil buatannya sendiri. Ia mencatut nama media massa, cetak atau elektronik. Ya, tidak beda dengan polisi gadungan, yang membeli baju seragam dan pistol mainan di toko. Makhluk ini layak disebut WTS alias wartawan tanpa surat kabar.

Sedangkan oknum menurut KBBI berarti 1. penyebut diri Tuhan dalam agama Katolik; pribadi: kesatuan antara Bapak, Anak, dan Roh Kudus sebagai tiga — keesaan Tuhan;2 orang seorang; perseorangan; 3 orang atau anasir (dengan arti yang kurang baik).

Wartawan bodreks, boleh jadi ia bernaung dalam sebuah perusahaan media massa. Dalam arti, ia melamar di perusahaan itu dan oleh pemimpin perusahaan ia ditunjuk sebagai wartawan. Dengan begitu, ia memang memiliki identitas sebagai wartawan, berupa ID card. Dan namanya pun tercantum dalam boks redaksi.

Selain disebut bodreks, makhluk seperti ini kerap juga disebut wartawan oteng-oteng, odong-odong, abal-abal, WTS (wartawan tanpa surat kabar), dan muntaber (muncul tanpa berita). Di Jawa Barat, wartawan bodreks sering pula disebut sebagai wartawan CNN alias can nulis-nulis.

Tindak tanduk mereka memang menyerupai atau meniru cara kerja wartawan. Yang membedakan, wartawan yang sesungguhnya bekerja untuk mencari, mengumpulkan, dan menulis berita. Sementara yang dilakukan wartawan bodreks adalah mencari dan mengumpulkan amplop, tentu saja beserta isinya.

Wartawan adalah pekerja profesional. Tanpa mengesampingkan nilai idealisme dan panggilan jiwa, wartawan bekerja untuk menafkahi hidupnya. Dan uang yang mereka terima berasal dari perusahaan di mana mereka bekerja dalam bentuk gaji, honor, bonus, atau sejenisnya. Mereka layak memperoleh upah atas hasil karya dan dedikasinya.

Sementara wartawan bodreks, memperoleh uang dari hasil memeras, atau dari anjang sono ke kantor-kantor instansi dengan dalih silaturahim, mendatangi acara seminar atau acara seremonial. Mereka pada umumnya tak digaji oleh perusahaan tempat mereka bernaung. Beberapa, memang ada yang digaji, tetapi teramat minim.

Umumnya ‘wartawan’ seperti ini tak becus bekerja. Yang dilakukannya adalah keluar masuk kantor instansi pemerintah atau swasta, ikut nimbrung di seminar-seminar, bukan untuk mengumpulkan informasi, tetapi untuk…..yaaa, tahu sendirilah!

Secara de jure, mungkin bolehlah ia dibilang sebagai seorang wartawan. Sebab ia mengantongi kartu pers yang dikeluarkan oleh pemimpin perusahaan, dan ditandatangani pemimpin redaksi, serta dilengkapi pula dengan stempel. Tapi secara de facto, wajar kalau kita meragukan kewartawanannya. Sebab, mereka tidak melakukan aktifitas jurnalistik sebagaimana mestinya. Kartu pers yang ia miliki ditunjukkan hanya untuk meyakinkan orang-orang bahwa ia adalah seorang wartawan.

Maka, sebenarnya wartawan bodreks itu  lebih berbahaya daripada wartawan gadungan. Karena wartawan gadungan biasanya menjalankan aksi haramnya itu tak berkesinambungan. Ia juga pada umumnya tak membaur dengan komunitas wartawan. Ia justru takut aksinya itu tercium oleh wartawan sungguhan atau aparat.

Wartawan gadungan cenderung ‘bekerja’ seorang diri. Dan jika kedoknya terungkap, habislah riwayatnya. Kiprahnya berujung di dalam sel tahanan. Ini agak berbeda dengan wartawan bodreks, dalam arti, wartawan yang memang mempunyai kartu pers resmi, tapi tak becus menulis berita dan kerjanya hanya memeras.

Wartawan bodreks lebih percaya diri dalam menjalankan aksinya. Dikatakan percaya diri, karena ia memiliki kartu pers resmi yang ditandatangani pemimpin redaksi. Ia percaya diri karena ia merasa berada dalam naungan sebuah penerbitan media massa. Secara de jure, ia memiliki kekuatan. Maka ia tak segan membaurkan diri dan menyusup ke dalam komunitas wartawan.  ‘Wartawan’ jenis ini, menjalankan aksinya secara berkesinambungan.

Dewasa ini jumlah wartawan bodreks berjubel. Ini berkaitan dengan sistem rekrutmen. Setelah surat izin usaha penerbitan (SIUPP) tak lagi diberlakukan, banyak orang latah terjun dalam usaha penerbitan pers. Untuk membuat koran atau tabloid, sang pengusaha latah mengeluarkan modal yang alakadarnya.

Setelah itu, direkrutlah awak yang menukanginya, terdiri dari jajaran manajemen dan keredaksian. Di jajaran keredaksian, dipimpin oleh pemimpin redaksi. Untuk mengisi lembar-lembar korannya dengan tulisan, direkrutlah beberapa orang staf redaksi dan sejumlah wartawan.

Tak seperti lazimnya surat kabar profesional, surat kabar jenis ini tak terlalu memedulikan SDM dan kualitas. Siapa pun bisa masuk, tak ada tes apa pun. Tak heran jika semua kalangan boleh melamar dan diterima masuk menjadi wartawan di surat kabar ini.

Dan setelah diterima bekerja, para wartawan ini tak diberi pelatihan atau pembekalan. Ia langsung terjun ke lapangan. Kenyataannya, sebagian besar wartawan di surat kabar jenis ini tak memperoleh gaji. Mereka memperoleh penghasilan dari hasil memeras dan ‘mengemis’ ke sana-sini. Selain itu, mereka juga memperoleh penghasilan dari hasil menjual koran.

Saat melamar, sang calon wartawan diberi pemahaman oleh pemilik perusahaan atau pemimpin redaksi,  bahwa bergabung ke dalam surat kabar ini, ia harus mampu menjual koran, misalnya 50 -100 eksemplar setiap edisi. Uangnya disetorkan kepada perusahaan. Misalnya harga koran atau tabloid sebesar Rp. 1.500 per eksemplar. Jika sang wartawan diwajibkan menjual koran sebanyak 100 eksemplar, maka ia harus menyetorkan uang sebesar Rp.150.000 eksemplar per edisi.

Untuk memperoleh ID card, ‘wartawan’ jenis ini mesti mengeluarkan kocek untuk perusahaan pers yang menaunginya. Konon, ID card harus dibayar Rp 200 ribu-500 ribu. Di lapangan sering kita temukan, wartawan bodreks memiliki tiga hingga empat kartu pers sekaligus dari surat kabar yang berbeda. Sepertinya, semakin banyak ia memiliki kartu pers, semakin merasa gagah dia.

Nah, dengan pola rekrutmen seperti itu, maka hampir bisa dipastikan bahwa wartawan yang diterima bekerja di tempat itu tak mampu menjalankan aktifitas jurnalistik. Parahnya lagi, setelah resmi direkrut, mereka tak pernah diberi pelatihan atau pembekalan. Jadi jangan kaget jika di lapangan sering ditemukan orang yang mengaku wartawan, tapi jangankan menulis berita, menyusun huruf untuk menulis namanya sendiri saja salah!

Ekstremnya seperti itu. Kendati ada juga yang mau belajar dan menggali ilmu jurnalistik dengan cara otodidak sambil bekerja di koran abal-abal. Tapi umumnya wartawan bodreks tak becus menulis berita. Ia tak familiar dengan mesin tik atau komputer. Rumus dasar 5W+1H pun tak paham.

Setelah dia diterima pada sebuah surat kabar, namanya tercantum di dalam boks redaksi dan mengantongi kartu pers, maka secara resmi pula ia menjadi sosok bernama wartawan. Tentu saja ia tak mau ditambahi embel-embel bodreks di belakangnya.***

 

One thought on “Duh, Wartawan!

  • Sama aja.
    Skr jg banyak media. Yg tdk jlas.jd sangat sulit.utk mengkritik hal wartawan dan media. Apakah kita sdh bnar ???????.

    Balas

Tinggalkan Balasan ke Anonim Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.